Selasa, 16 Februari 2016

Minggu, 04 Oktober 2015

Donasi :

Tidak ada komentar:

BRI rek 5907-01-014672-53-1
A/n : Yayasan Cakra Amaliyah
Akta Nomor : 56 Tgl 14 September 2015 Notaris  & PPAT MAKIN AMIN,S.H.
              Pengadilan Negeri Kendal Nomor : W12-U22/11/HK.02/9/2015 Tgl 22 September 2015
.NPWP  73.883.077.7-513.000.
SK :Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
              Nomor: AHU-0013699.AH.01.04.Tahun 2015 Tanggal 18 September 2015
Alamat Sekretariat : Perum Pantura II Rt 001 Rw 010 Kel. Sarirejo,Kec.Kaliwungu,Kab.Kendal Jawa
                                    Tengah Indonesia 51372 . Email: yayasancakraamaliyah@gmail.com

No Telp : 085729762238 



Jumat, 22 Mei 2015

KEBERKAHAN HIDUP

Tidak ada komentar:

Setiap orang tentu saja ingin memperoleh keberkahan dalam hidupnya di dunia ini. Karena itu kita selalu berdo’a dan meminta orang lain mendo’akan kita agar segala sesuatu yang kita miliki dan kita upayakan memperoleh keberkahan dari Allah Swt. Secara harfiyah, berkah berarti an nama’ waz ziyadah yakni tumbuh dan bertambah, ini berarti Berkah adalah kebaikan yang bersumber dari Allah yang ditetapkan terhadap sesuatu sebagaimana mestinya sehingga apa yang diperoleh dan dimiliki akan selalu berkembang dan bertambah besar manfaat kebaikannya. Kalau sesuatu yang kita miliki membawa pengaruh negatif, maka kita berarti tidak memperoleh keberkahan yang diidamkan itu.

Namun, Allah Swt tidak sembarangan memberikan keberkahan kepada manusia. Ternyata, Allah hanya akan memberi keberkahan itu kepada orang yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Janji Allah untuk memberikan keberkahan kepada orang yang beriman dan bertaqwa dikemukakan dalam firman-Nya yang artinya: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS 7:96).

Apabila manusia, baik secara pribadi maupun kelompok atau masyarakat memperoleh keberkahan dari Allah Swt, maka kehidupannya akan selalu berjalan dengan baik, rizki yang diperolehnya cukup bahkan melimpah, sedang ilmu dan amalnya selalu memberi manfaat yang besar dalam kehidupan. Disilah letak pentingnya bagi kita memahami apa sebenarnya keberkahan itu agar kita bisa berusaha semaksimal mungkin untuk meraihnya.

BENTUK KEBERKAHAN

Secara umum, keberkahan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman bisa kita bagi kedalam tiga bentuk. Pertama, berkah dalam keturunan, yakni dengan lahirnya generasi yang shaleh. Generasi yang shaleh adalah yang kuat imannya, luas ilmunya dan banyak amal shalehnya, ini merupakan sesuatu yang amat penting, apalagi terwujudnya generasi yang berkualitas memang dambaan setiap manusia. Kelangsungan Islam dan umat Islam salah satu faktornya adalah adanya topangan dari generasi yang shaleh. Generasi semacam itu juga memiliki jasmani yang kuat, memiliki kemandirian termasuk dalam soal harta dan bisa menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Keberkahan semacam ini telah diperoleh Nabi Ibrahim as dan keluarganya yang ketika usia mereka sudah begitu tua ternyata masih dikaruniai anak, bahkan tidak hanya Ismail yang shaleh, sehat dan cerdas, tapi juga Ishak dan Ya’kub. Di dalam Al-Qur’an keberkahan semacam ini diceritakan oleh Allah yang artinya: Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang kelahiran Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya’kub. Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku aka melairkan anak, padahal aku adalah perempuan seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh". Para malaikat itu berkata: "Apakahkamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah" (QS 11:71-73).

Kedua, keberkahan dalam soal makanan yakni makanan yang halal dan thayyib, hal ini karena ulama ahli tafsir, misalnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana yang disebutkan dalam firman surat Al A’raf: 96 di atas adalah rizki yang diantara rizki itu adalah makanan. Yang dimaksud makanan yang halal adalah disamping halal jenisnya juga halal dalam mendapatkannya, sehingga bagi orang yang diberkahi Allah, dia tidak akan menghalalkan segala cara dalam memperoleh nafkah. Disamping itu, makanan yang diberkahi juga adalah yang thayyib, yakni yang sehat dan bergizi sehingga makanan yang halal dan tayyib itu tidak hanya mengenyangkan tapi juga dapat menghasilkan tenaga yang kuat untuk selanjutnya dengan tenaga yang kuat itu digunakan untuk melaksanakan dan menegakkan nilai-nilai kebaikan sebagai bukti dari ketaqwaannya kepada Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rizkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS 5:88).

Karena itu, agar apa yang dimakan juga membawa keberkahan yang lebih banyak lagi, meskipun sudah halal dan thayyib, makanan itu harus dimakan sewajarnya atau secukupnya, hal ini karena Allah sangat melarang manusia berlebih-lebihan dalam makan maupun minum, Allah Swt berfirman yang artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indak di setiap memasuki masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (7:31).

Ketiga, berkah dalam soal waktu yang cukup tersedia dan dimanfaatkannya untuk kebaikan, baik dalam bentuk mencari harta, memperluas ilmu maupun memperbanyak amal yang shaleh, karena itu Allah menganugerahi kepada kita waktu, baik siang maupun malam dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam setiap harinya, tapi bagi orang yang diberkahi Allah maka dia bisa memanfaatkan waktu yang 24 jam itu semaksimal mungkin sehingga pencapaian sesuatu yang baik ditempuh dengan penggunaan waktu yang efisien. Sudah begitu banyak manusia yang mengalami kerugian dalam hidup ini karena tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik, sementara salah satu karakteristik waktu adalah tidak akan bisa kembali lagi bila sudah berlalu, Allah berfirman yang artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran (QS 103:1-3).

Karena itu, bagi seorang muslim yang diberkahi Allah, waktu digunakan untuk bisa membuktikan pengabdiannya kepada Allah Swt, meskipun dalam berbagai bentuk usaha yang berbeda, Allah berfirman yang artinya: Demi malam apabila menutupi, dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (harta di jalan Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (92:1-7).

KUNCI KEBERKAHAN.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa sebagai seorang muslim, keberkahan dari Allah untuk kita merupakan sesuatu yang amat penting. Karena itu, ada kunci yang harus kita miliki dan usahakan dalam hidup ini. Sekurang-kurangnya, ada dua faktor yang menjadi kunci keberkahan itu.

Iman dan Taqwa Yang Benar.

Di dalam ayat di atas, sudah dikemukakan bahwa Allah akan menganugerahkan keberkahan kepada hamba-hambanya yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Semakin mantap iman dan taqwa yang kita miliki, maka semakin besar keberkahan yang Allah berikan kepada kita. Karena itu menjadi keharusan kita bersama untuk terus memperkokoh iman dan taqwa kepada Allah Swt. Salah satu ayat yang amat menekankan peningkatan taqwa kepada orang yang beriman adalah firman Allah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwadan jangan sampai kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri/muslim (QS 3:102).

Keimanan dan ketaqwaan yang benar selalu ditunjukkan oleh seorang mu’min dalam bentuk melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam keadaan sendiri maupun bersama orang lain. Tegasnya keimanan dan ketaqwaan itu dibuktikan dalam situasi dan kondisi yang bagaimananpun juga dan dimanapun dia berada.

Berpedoman kepada Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber keberkahan sehingga apabila kita menjalankan pesan-pesan yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan berpedoman kepadanya dalam berbagai aspek kehidupan, nicaya kita akan memperoleh keberkahan dari Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: Dan Al-Qur’an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya? (QS 21:50, lihat juga QS 38:29.6:155).

Karena harus kita jalankan dan pedomani dalam kehidupan ini, maka setiap kita harus mengimani kebenaran Al-Qur’an bahwa dia merupakan wahyu dari Allah Swt sehingga tidak akan kita temukan kelemahan dari Al-Qur’an, selanjutnya bisa dan suka membaca serta menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut aspek pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa.

Akhirnya menjadi jelas bagi kita bahwa, keberkahan dari Allah yang kita dambakan itu, memperolehnya harus dengan berdo’a dan berusaha yang sungguh-sungguh, yakni dalam bentuk memantapkan iman dan taqwa serta selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidup ini.

Kamis, 21 Mei 2015

Menyikapi Perbedaan Jumlah Raka'at Shalat Tarawih

Tidak ada komentar:



Setiap tahun menjelang Ramadhan halaman-halaman internet dan blog dipenuhi dengan perdebatan-perdebatan seru dan sengit seputar jumlah rakaat Ramadhan. Tidak jarang perdebatan yang diisi oleh berbagai karakter orang dari berbagai tingkatan keilmuan membangkitkan hal-hal buruk dan permusuhan diantara para peserta dan muqallidnya. Islam sejatinya merupakan jalan keluar perdamaian jika saja elemen dan personil yang ada didalamnya memahami benar sisi-sisi prioritas dalam Amalan.
Tulisan ini memiliki misi exposisi bukan tarjih terhadap pendapat yang telah ada sedari dahulu kala. Tujuan akhirnya adalah informasi dan pemahaman bahwa para ulama yang mendalam ilmunya justeru memiliki pendapat yang moderat, adil, dan jauh dari egoisme apalagi berkehendak untuk memecah ummat.
Pendapat Ulama yang Variatif

Sebelas Rakaat beserta witir
Pendapat ini merupakan pilihan Imam Malik untuk dirinya sendiri[1] dan sangat masyhur sebagai pendapat syaikh Albani dan murid-muridnya serta orang-orang yang sepakat dengan beliau. Syaikh Albani berkata:
وركعتها إحدى عشرة ركعة ، ونختار أن لا يزيد عليها اتباعاً لرسول الله صلى الله عليه وسلم ، فإنه لم يزد عليها حتى فارق الحياة
Jumlah rakaatnya (taraweh,pent) adalah 11 rakaat, kami memilih untuk tidak menambahkannya karena mengikut rasulullah Shallallâhu alaihi Wasallâm. Sesungguhnya beliau tidak pernah menambahnya sampai ia berpisah dengan dunia.[2]
Mereka berdalil dengan hadits Jabir Radiyallahu anhu
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة في رمضان ثماني ركعات والوتر
Rasulullah Shallallâhu alaihi Wasallâm pernah mengimami kami salat pada satu malam Ramadan dengan delapan rakaat kemudian Witir
hadits diatas mendapat kritikan para ulama karena didalam sanadnya terdapat seorang rawi matruk bernama Isa Bin Jariyah, namun syaikh Albani menganggapnya memiliki penguat dari hadits Aisyah yang diriwayatkan Oleh Imam Bukhari dalam sohihnya:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.
dalam Kitab Muwattha juga terdapat sebuah hadits yang mendukung pendapat ini:
وَحَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِىَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِىِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلاَّ فِى فُرُوعِ الْفَجْرِ
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo’ 1/115)
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih[3]
sekalipun begitu, yang masyhur dari mazhab malik sebagaimana diisyaratkan Oleh imam Tirmizi bahwa mereka sholat sebanyak 36 Rakaat.
ada beberapa Atsar lain yang menguatkan pendapat ini yang Insya Allah mudah didapat. Kami cukupkan dengan menyebutkan dalil-dalil diatas sebagai pengetahuan saja.
Dua Puluh Rakaat.
Pendapat inilah yang dipegang oleh Mazhab Syafii dan Ahmad serta secara turun temurun dilaksanakan di dua tanah haram yang dimuliakan.
mereka berdalil dengan beberapa hadits berikut:
حدثنا علي أنا بن أبي ذئب عن يزيد بن خصيفة عن السائب بن يزيد قال : كانوا يقومون على عهد عمر في شهر رمضان بعشرين ركعة وإن كانوا ليقرءون بالمئين من القرآن
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali, bahwa Ibnu Abi Dzi’b dari Yazid bin Khoshifah dari As Saib bin Yazid, ia berkata, “Mereka melaksanakan qiyam lail di masa ‘Umar di bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at. Ketika itu mereka membaca 200 ayat Al Qur’an.” (HR. ‘Ali bin Al Ja’d dalam musnadnya, 1/413)
Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa riwayat di atas terdapat ‘illah yaitu karena terdapat Yazid bin Khoshifah. Dalam riwayat Ahmad, beliau menyatakan bahwa Yazid itu munkarul hadits. Namun pernyataan ini tertolak dengan beberapa alasan:
Imam Ahmad sendiri menyatakan Yazid itu tsiqoh dalam riwayat lain.
Ulama pakar hadits lainnya menyatakan bahwa Yazid itu tsiqoh. Ulama yang berpendapat seperti itu adalah Ahmad, Abu Hatim dan An Nasai. Begitu pula yang menyatakan tsiqoh adalah Yahya bin Ma’in dan Ibnu Sa’ad. Al Hafizh Ibnu Hajar pun menyatakan tsiqoh dalam At Taqrib.
Perlu diketahui bahwa Yazid bin Khoshifah adalah perowi yang dipakai oleh Al Jama’ah (banyak periwayat hadits).
Imam Ahmad rahimahullah dan sebagian ulama di banyak keadaan kadang menggunakan istilah “munkar” untuk riwayat yang bersendirian dan bukan dimaksudkan untuk dho’ifnya hadits.[4]
Tiga puluh Enam Rakaat
ini adalah pendapat yang masyhur dari mazhab malik. Imam Tirmidzi mengisyaratkan hal tersebut dan juga jumlah rakaat lainnya setelah selesai meriwayatkan hadits tentang tarawih nabi yang hanya 3 hari dibulan Ramadhan dan tidak berurutan.[5]
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan umat.
Tidak ada batasan Rakaat[6]
Pendapat ini disinggung oleh beberapa ulama diantaranya ibnu Hajar al atsqalani ketika ia menjama dua riwayat yang menyatakan jumlah rakaat yang berbeda. Beliau mengatakan:
وَالْجَمْعُ بَيْن هَذِهِ الرِّوَايَات مُمْكِنٌ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَال ، وَيَحْتَمِل أَنَّ ذَلِكَ الِاخْتِلَافَ بِحَسَبِ تَطْوِيلِ الْقِرَاءَة وَتَخْفِيفِهَا فَحَيْثُ يُطِيلُ الْقِرَاءَة تَقِلُّ الرَّكَعَات وَبِالْعَكْسِ وَبِذَلِكَ جَزَمَ الدَّاوُدِيُّ وَغَيْره
Kompromi antara riwayat (yang menyebutkan 11 dan 23 raka’at) amat memungkinkan dengan kita katakan bahwa mereka melaksanakan shalat tarawih tersebut dilihat dari kondisinya. Kita bisa memahami bahwa perbedaan (jumlah raka’at tersebut) dikarenakan kadangkala bacaan tiap raka’atnya panjang dan kadangkala pendek. Ketika bacaan tersebut dipanjangkan, maka jumlah raka’atnya semakin sedikit. Demikian sebaliknya. Inilah yang ditegaskan oleh Ad Dawudi dan ulama lainnya[7]

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan:
وليس في عدد الركعات من صلاة الليل حد محدود عند أحد من أهل العلم لا يتعدى وإنما الصلاة خير موضوع وفعل بر وقربة فمن شاء استكثر ومن شاء استقل
Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak[8]
Imam Nawawi menukil pendapat Qadhi Iyadh dalam Syarah muslim:
ولا خلاف أنه ليس في ذلك حد لا يزاد عليه ولا ينقص منه ، وأن صلاة الليل من الطاعات التي كلما زاد فيها زاد الأجر ، وإنما الخلاف في فعل النبيّ صلى الله عليه و سلم وما اختاره لنفسه والله أعلم
Tidak ada khilaf bahwa permasalah tersebut tidak memiliki batasan [rakaat] baik untuk menambahkan maupun mengurangkan. Sholat malam adalah termasuk ketaatan yang jika ditambahkan [rakaatnya] niscaya bertambahlah pahalanya. Khilaf hanya terjadi mengenai perbuatan Nabi Shallallâhu alaihi Wasallam dan apa yang Ia pilih untuk dirinya sendiri. Allahu a’lamu.[9]

Pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Ibnu taimiyah memiliki pendapat yang cukup moderat. Beliau berkata:
لَمْ يُوَقِّتْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ عَدَدًا مُعَيَّنًا ؛ بَلْ كَانَ هُوَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةِ رَكْعَةً لَكِنْ كَانَ يُطِيلُ الرَّكَعَاتِ فَلَمَّا جَمَعَهُمْ عُمَرُ عَلَى أبي بْنِ كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً ثُمَّ يُوتِرُ بِثَلَاثِ وَكَانَ يُخِفُّ الْقِرَاءَةَ بِقَدْرِ مَا زَادَ مِنْ الرَّكَعَاتِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَخَفُّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ مِنْ تَطْوِيلِ الرَّكْعَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَفِ يَقُومُونَ بِأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثِ وَآخَرُونَ قَامُوا بِسِتِّ وَثَلَاثِينَ وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثِ وَهَذَا كُلُّهُ سَائِغٌ فَكَيْفَمَا قَامَ فِي رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ فَقَدْ أَحْسَنَ . وَالْأَفْضَلُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ الْمُصَلِّينَ فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ لِطُولِ الْقِيَامِ فَالْقِيَامُ بِعَشْرِ رَكَعَاتٍ وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا . كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ هُوَ الْأَفْضَلُ وَإِنْ كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ فَالْقِيَامُ بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ وَهُوَ الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ وَبَيْنَ الْأَرْبَعِينَ وَإِنْ قَامَ بِأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا جَازَ ذَلِكَ وَلَا يُكْرَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ . وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ . وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at. Akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab ditunjuk sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.
Sebagian salaf pun ada yang melaksanakan shalat malam sampai 40 raka’at, lalu mereka berwitir dengan 3 raka’at. Ada lagi ulama yang melaksanakan shalat malam dengan 36 raka’at dan berwitir dengan 3 raka’at.
Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[10]
Secara lugas dan jelas beliau memilih untuk tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam termasuk tarawih.
Bijak dalam Khilaf

Bijak dalam perselisihan merupakan kekhasan para ulama yang wara’ lagi Tawadhu. Dalam tulisan ini saya perlu menghadirkan Fatwa Faqihuzzaman Muhammad Bin Sholih al Utsaimin terkait realitas perbedaan dalam pelaksanan sholat Taraweh
Beliau pernah ditanya tentang jamaah yang sholat bersama Imam hanya 11 rokaat saja, kemudian memisahkan diri dengan alasan bahwasanya Rasulullah Shollallahu alaihi Wasallam tidak menambah dari 11 rokaat baik pada waktu ramadhan maupun selainya
Beliau menjawab:
Perbuatan ini yaitu memisahkan diri dari Imam yang sholat taraweh lebih dari 11 Rokaat adalah menyalahi Sunnah dan menghilangkan pahala. Perbuatan ini juga menyalahi perbuatan Salafussholih. Para sahabat yang sholat bersama nabi shollallahu Alaihi Wasallam tidak meninggalkan jamaah lebih dahulu dan mereka menuruti Imam mereka sekalipun ia menambahkan dari apa yang menurut mereka disyariatkan. Sesungguhnya Utsaman Radiyallahu anhu diingkari oleh para sahabat ketika ia melakukan Sholat secara sempurna di Mina, tetapi mereka tetap mengikutinya dan mereka berkata: Sesungguhnya khilaf itu adalah sebuah keburukan dan mencabut pahala yang diinginkan karena Nabi shallallahu alaihi Wasallam bersabda: Barangsiapa yang sholat bersama Imam hingga selesai, niscaya ditetapkanbaginya pahala sholat semalam suntuk[11].
Menambah dari 11 rakaat bukanlah keharaman tapi suatu hal yang boleh. Hal itu karena Rasulullah pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang sholat malam, maka beliau bersabda:
‏مثنى، مثنى، فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة فأوترت له ما قد صلى
Shalat malam itu Dua dua, kalau salah seorang diantara kalian khawatir datang shubuh maka sholatlah satu rakat yang menjadi witir bagi sholat yang telah ia kerjakan[12]
Nabi Shallallahu alaihi Wasallam tidak membatasi bilangan rakaatnya. Kalaulah menambah dari sebelas rakaat adalah haram, niscaya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam akan menjelaskannya.
Nasehatku bagi saudara-saudaraku tersebut adalah hendaknya mereka mengikuti Imam Hingga selesai [13].
saya katakan :Rahimahullah FAqihuzzaman Fadhilatussyaikh al Utsaimin.

Dalam jilid yang sama difatwanya beliau pernah ditanya tentang satu masjid yang menggunakan dua Imam taraweh
Ada seseorang yang sholat bersama imam pertama lalu meninggalkan jamaah seraya berkata: aku sholat sesuai dengan nash hadits :
Barangsiapa yang sholat bersama Imam hingga selesai, niscaya ditetapkanbaginya pahala sholat semalam suntuk .
Sesungguhnya saya memulai bersama imam yang pertama dan menyelesaikan sholat bersamanya.
Beliau menjawab:
Adapun perkataannya (Barangsiapa yang sholat bersama Imam hingga selesai, niscaya ditetapkanbaginya pahala sholat semalam suntuk) maka ini adalah sebuah hadits sohih yang telah tetap dari Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam ketika diminta oleh sahabat untuk menambah sholat sunnah untuk malam yang masih tersisa. Ketika itu beliau menyelesaikan sholat ditengah malam. Mereka berkata : wahai Rasulullah apakah engkau berkenan untuk sholat sunnah bersama kami untuk malam yang masih tersisa ini? Maka beliau bersabda: Barangsiapa yang sholat bersama Imam hingga selesai, niscaya ditetapkan baginya pahala sholat semalam suntuk.
Tetapi apakah dua imam dalam satu masjid itu diangga saling berdiri sendiri atau keduanya saling menggantikan?
Yang nampak adalah anggapan kedua dimana setiap imam adalah saling menggantikan sebagai pelengkap. Dalam hal ini jika dalam satu masjid terdapat dua imam maka mereka dianggap satu. Maka hendaknya seseorang tetap sholat bersama imam sampai imam yang kedua selesai. Hal itu Karena kita tahu bahwa Imam kedua adalah melengkapi imam yang pertama.
Dalam hal ini aku menasehatkan saudara-saudaraku agar mengikuti para Imam disini -masjidil haram- sampai selesai dan berakhir sholatnya. Kalau ada sebagian ikhwah yang meninggalkan jamaah karena sholat sebelas rakaat seraya berkata: “beginilah bilangan rakaat yang sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan kami ingin mengikuti bilangan rakaat yang dilakukan oleh nabi. Itulah yang lebih baik”.
Tidak ada satupun orang yang meragukan hal itu[14], tapi aku menganggap tidak ada larangan untuk menambah [rakaat]. Bukan didasarkan pada ketidaksukaan dengan bilangan rakaat yang dipilih oleh nabi Shallallahu alaihi Wasallam tapi atas dasar terdapatnya kebaikan yang ditolerir oleh syariat dimana Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam pernah ditanya tentang Sholat malam, maka beliau bersabda: (Shalat malam itu Dua dua, kalau salah seorang diantara kalian khawatir datang shubuh maka sholatlah satu rakat yang menjadi witir bagi sholat yang telah ia kerjakan)
Kalau hal ini adalah perkara yang diperkenankan untuk menambah, maka yang utama bagi manusia adalah jangan keluar dari jamaah tapi tetap mengikuti Imam. Para Sahabat-semoga Allah meridhai mereka- ketika Utsman melakukan sholat secara sempurna di Mina sebagian dari mereka mengulangnya, namun demikian mereka tetap sholat dibelakang utsman 4 rakaat. Mereka menambah dua rakaat pada sholat yang tidak lebih dari dua rakaat agar bersesuaian dengan jamaah, menyatukan kata, dan menghindari perpecahan.
Saling bersesuaian itu manfaatnya sangat besar. Janganlah seseorang diantara kalian membuat satu pilihan yang memisahkah diri dari jamaah seraya berkata: “ engkau bersamaku atau fulan?, ini kesalahan.
Dalam hal ini selama perkara tersebut masih diperkenankan dan tidak ada larangan
Syariat, maka sesungguhnya bersepakat dalam satu jamaah itu tidak akan menampakkan dendam dan kebencian.
Diriwayatkan dari Salaf berbagai bentuk seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah-Semoga Allah merahmati kedua-. Hendaknya kita bertindak fleksibel seperti mereka. Mereka telah lebih dahulu melakukah hal itu maka janganlah kita menyimpang dari apa yang mereka lakukan. Saya berulang-ulang mengajak kepada penyatuan dan peniadaan perselisihan pada hal yang diperkenankan ijtihad. Kesulitan sebenarnya adalah jika disana ada dua witir dalam satu malam, apa yang harus dilakukan oleh makmum?
Kami katakan: jika engkau ingin sholat tahajjud bersama Imam yang kedua, Jika Imam pertama telah melakukan witir, Maka kerjakan lagi satu rakaat agar menjadi dua dua. Kalau anda tidak ingin tahajjud diakhir malam maka berwitirlah bersama imam Yang pertama. Kemudian kalau anda mampu untuk bertahajjud bersama imam yang kedua setelah itu, maka genapkanlah witir bersama imam yang kedua.
Semoga kita bisa memperbaiki Ibadah kita.





[1] Hal ini diterangkan oleh al Aini dalam syarah sohih Bukhari yang dikutip Oleh Al Mubarakfuri dalam syarah Turmudzi tentang shlat tarawih bab 80

[2] Risalah qiyam Ramadhan hal 15

[3] ‘Adadu Raka’at Qiyamil Lail, Musthofa Al ‘Adawi, Daar Majid ‘Asiri, hal. 36.

[4] Lihat catatan kaki Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 37.

[5] Sunan tirmidzi bab 80. disitu beliau menyebutkan 41 rakaat. Yaitu dengan 5 rakaat witir

[6] Biasanya mereka telah cenderung kepada salah satu pendapat tentang bilangan Taraweh, tapi jumlah bilangan tersebut bukan sebuah kelaziman

[7] Fathul Bari, 4/253.

[8] At Tamhid, 21/70.

[9] Syarah sohih Muslim 6/19

[10] Majmu’ Al Fatâwa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H, 22/272.

[11] Hadits riwayat

[12] HR Bukhari-Muslim

[13] Fatawa Ibnu utsaimin Jilid 14 http://www.al-eman.com/islamLib/viewchp.asp?BID=353&CID=325. diakses pukul 14.06

[14] Perlu diketahui bahwa Syaikh Utsaimin merajihkan pendapat sebelas rakaat sebagai jumlah bilangan taraweh. Silahkan merujuk : http://www.kl28.com/ebnothiminr.php?search=1845 atau terjemahnya http://www.almanhaj.or.id/content/2800/slash/0

MENYIKAPI PERBEDAAN

Tidak ada komentar:

“Kita bekerja sama untuk hal-hal yang kita sepakati dan kita saling bertoleransi untuk hal-hal yang tidak kita sepakati.” --Hasan Al-Banna, Majmu’atur Rasaail

Musibah terbesar yang menimpa kaum Muslimin adalah perpecahan. Apa yang membuat kaum Muslimin bisa menang kembali adalah cinta kasih dan persatuan. Umat ini tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi pertamanya dahulu. Inilah prinsip dasar dan sasaran penting setiap muslim.


Perbedaan dalam berbagai masalah furu' (masalah cabang) merupakan sesuatu yang niscaya. Mustahil manusia bisa bersatu dalam masalah-masalah tersebut, karena beberapa alasan sebagai berikut:


Perbedaan kapasitas intelektual dalam memahami dan menangkap kedalaman makna-makna dalil serta dalam mengambil keputusan hukum.

Perbedaan keluasan ilmu para ulama. Imam Malik berkata kepada Abu Ja'far, "Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya upaya itu hanya akan menimbulkan fitnah."

Perbedaan lingkungan yang antara lain menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pola penerapan hukum. Itulah sebabnya Imam Syafi'i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Iraq kemudian memunculkan fatwa baru (qauljadid) ketika beliau berada di Mesir.

Perbedaan tingkat ketenangan hati dalam menerima suatu riwayat.

Perbedaan dalam menentukan tingkat kekuatan dalil kepada hukum tertentu.

Mengharapkan adanya ijma' dalam masalah furu' adalah mustahil. Bahkan bertentangan dengan tabiat agama (dan kemanusiaan itu sendiri), karena Allah menghendaki aktualitas agama ini abadi dan dapat menyertai semua zaman. Inilah rahasia mengapa agama Islam ditata sedemikian rupa oleh Allah sehingga mudah, fleksibel, bebas dari kebekuan dan ekstrimisme.

Perbedaan-perbedaan itu tidak akan menghambat proses menyatunya hati, saling mencintai dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan. Islam yang universal ini akan sanggup memayungi kita dalam batasan-batasannya yang begitu luas.

Bukankah sebagai Muslim kita suka bertahkim kepada sesuatu kita merasa tenang kepadanya? Bukankah kita dituntut untuk mencintai bagi saudara kita apa yang kita cinta bagi diri kita sendiri? Lantas, mengapa masih harus ada perpecahan? Mengapa kita tidak berusaha untuk saling memahami dalam suasana penuh cinta? Para sahabat Rasulullah Saw juga sering berbeda dalam memutuskan hukum. Tapi adakah itu kemudian memecah belah hati mereka? Sama sekali tidak.

Jika para sahabat saja—yang lebih dekat dengan zaman kenabian dan lebih tahu tentang seluk beluk hukum—masih juga berbeda pendapat, mengapa kita harus saling membunuh untuk suatu perbedaan dalam masalah-masalah sepele? Jika para Imam saja, yang lebih tahu tentang Al-Qur'an dan Sunah, masih saling berbeda dan berdebat, mengapa dada kita tidak selapang mereka dalam mensikapi perbedaan?

Kesadaran itulah yang akan membuat dada kita lebih lapang dalam menghadapi berbagai perbedaan. Setiap kaum memiliki ilmu, dan bahwa pada setiap (jama’ah) da’wah ada sisi benarnya dan ada sisi salahnya. Kita akan selalu mencari sisi yang benar dan berusaha menyampaikan (sisi salahnya) kepada orang lain secara persuasif. Bila kemudian mereka menerima, maka itulah yang lebih baik, dan itu pula yang kita harapkan.

Adapun jika ternyata mereka menolak, sesungguhnya mereka tetap kita anggap sebagai saudara seagama. Kami berharap semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.

Kita akan menerima adanya perbedaan dan membenci sikap fanatisme terhadap pendapat sendiri. Kita senantiasa berusaha menemukan kebenaran, kemudian membawa masyarakat kepada kebenaran itu dengan cara yang baik dan sikap yang lemah-lembut


AYAT-AYAT DAN WIRID-WIRID pengobat santet

Tidak ada komentar:


Di antara ayat-ayat tersebut adalah surat Al-Fatihah, awal surat Al-Baqarah, ayat kursi, penutup surat Al-Baqarah, awal surat Aali Imron, akhir surat Al-Hasyr, firman Allah Ta'ala:

فَسَيَكْـفِيْكَهُمَ اللهَ وَهَـوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

"Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

وَإِنْ يَكَادُ الَّذِيْـنَ كَفَـرُوْا لِيَـزْلِقُوْنَكَ بِأَبْصَارِهِـمْ لَمَّا سَـمِعُوْا الذِّكْرَ وَيَقُوْلُوْنَ إِنَّهُ لَـمَجْنُوْنٌ

"Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendenarkan Al-Qur'an dan mereka berkata: "Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila".

أَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلىَ مَاآتاَهُـمُ اللهِ مِنْ فَـضْلِهِ فَقَـدْ آتَـيْنَا آلَ إِبْـرَاهِيْمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُـمْ مُلْكًا عَـظِيْمًا

"Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?, Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan hukmah kepada keluarga Ibarhim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar".

فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُـطُوْرٍ

"Maka lihatlah berulang-ulang, adakah yang kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang".

يَاقَوْمَنَا أَجِيْـبُوْا دَاعِيَ اللهِ وَآمِنوْا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوْبِكُمِ وَيُـجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ

"Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan brimanlah kepada-Nya, niscaaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih".

وَنُنَـزِّلُ مِنَ اْلقُـرْآنَ مَا هُـوَ شِـفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارً ا

"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah bagi orang-orang yang zalim selain kerugian".

قٌـلْ هُـوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُـوْا هُدًى وَشِـفَاءٌ

"Katakanlah: Al-Qur'an adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman".

يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ

"Hai mannusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman"

َويَشْـفِ صُـدُوْرَ قَـوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ

"Serta melegakan dada orang-orang yang beriman"

َوإَذَا مَرِضْتُ فَـهُوَ يَشْفِيْنِ

"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku".



Dan di antara do'a yang harus diucapkan:

((أَسْـأَلُ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَـرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيَكَ)) 7x

"Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhan arasy yang agung agar Dia berkenan menyembuhkanmu".

((أُعِيْذُكَ بِكُلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ)) 3x

"Aku melindungi kamu dengan kalimat Allah yang sempurna dari setiap tipu daya setan dan dari binatang yang berbisa, dan dari setiap mata yang jahat".

((اَللّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ اْلبَاسْ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا)) 3x

"Ya Allah Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah! Engkaulah yang menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang Engkau kehendaki, yaitu kesembuhan yang tidak emninggalkan penyakit".

((حَسْبِيَ اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُـوَ عَلَيْهِ تَـوَكَّلْتُ وَهُـوَ رَبُّ الْعَـرْشِ اْلعَظِيْمِ))7x

"Cukuplah Allah bagiku, tiada tuhan kecuali Dia, kepadanyalah kami bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan arasy yang agung".

((بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَئٌ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ)) 3x

"Dengan menyebut nama Allah, yang (jika menyebutnya) sesautu apapun tidak akan (ditimpa) bahaya baik di bumi atau di langit dan Dia adalah Tuhan Yang Maha Mendengar atau Maha Mengetahui".

((اَللّـهُمَّ أَذْهِبْ عَنْهُ حَـرَّهَا وَ بَرْدَهَا وَوَصَبَهَا))

"Ya Allah, hilangkanlah darinya rasa panasnya, dan rasa dingin serta keletiahan yang ditimbulkannya".


Allah menyebut kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai manna

Tidak ada komentar:
Allah menyebut kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai manna, karunia yang besar, bagi orang-orang mukmin (QS Ali Imran: 164). Allah juga menyebut kedatangan Nabi Muhanmmad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS Al Anbiya: 107). Sementara di ayat lain Allah berfirman,



“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmatNya itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus: 58)



Alam bersinnar-seminar bersuka ria

Menyambut kelahiran Al Mustafa Ahmad

Riang gembira meliputi penghuninya

Sambung menyambung tiada hentinya



Kini wajiblah bersuka cita

Dengan keberuntungan terus menerus tiada habisnya

Manakala kita beroleh anugerah

Padanya terpadu kebanggaan abadi



Bagi Tuhanku segala puji

Tiada bilangan mampu mencakupnya

Atas penghormatan dilimpahkanNya bagi kita

Dengan lahirnya Al Mustafa Al Hadi Muhammad



Ya Rasulullah, selamat datang ahlan wa sahlan

Sungguh kami beruntung dengan kehadiranmu



Ya Ilahi, Ya Tuhanku

Semoga Engkau berkenan memberikan nikmat karuniaMu

Menyampaikan kami ke tujuan idaman

Demi ketinggian derajat Rasul di sisiMu



Tunjukilah kami jalan yang ia tempuh

Agar dengannya kami bahagia beroleh kebaikan yang melimpah

Rabbi, demi kedudukan mulianya di sisiMu

Tempatkanlah kami di sebaik-baik tempat di sisinya



Semoga shalawat Allah meliputimu selalu

Rasul termulia Muhammad

Serta salam terus menerus

Silih berganti setiap saat






خبري (Berilah Kabar Padaku)

خبّري خبّري خبّري يا نسيمى عن مغرام شذي والهان
Berilah kabar kepadaku,wahai angin sepoi-sepoi,
aku tergila-gila,aku sangat rindu dan bingung

عا شق اه عاشق عا شق الأنوار
Oh rindu,rindu kepada cahaya

أنت عنّي تشتكي والحالي كلّ اللّيل سهران
Engkau perintahkan aku mengadu kepadanya,
lihatlah keadaanku,sepanjang malam aku begadang

كي ارأ المختار كي ارأ المختار
Agar aku dapat memandang Nabi al-Mukhtar(nabi pilihan)

من يّلمني في غرامي طا لما عاشق جمالك
Barang siapa,menghina penyakitku,
sungguh sangat terlambat karena kerinduanku
pada kebaikan kekasihku sudah lama

يامكرّم يا ممجّد يا مؤيّد بالشّفاعة
Wahai manusia yang dimuliakan,
diagungkan,dikuatkan dengan syafa’at

Berilah itu kepadaku
 
back to top